Minggu, 19 Agustus 2012

selamat idul fitri!



assalamualaikum!

di hari yang spesial ini,
mari berbagi kegembiraan dengan teman & orang lain

saya harap kita dapat melalui 11 bulan mendatang
selepas ramadhan dengan baik.

semoga kita dapat berjumpa
dengan ramadhan tahun depan..

wassalamualaikum!


Jumat, 10 Agustus 2012

Hukum dan Adab I'tikaf

TAUSYIAH 3#

Hukum dan Adab I'tikaf
(disadur oleh Pipien Tania)

Definisi

I'tikaf (الاعتكاف) dari segi bahasa berasal dari kata (العكوف). Artinya menetap dan berada di sekitarnya pada masa yang lama. Seperti firman Allah dalam surat Al-Anbiya: 52 dan surat Asy-Syu'ara: 71. Sementara dari segi istilah, yang dimaksud i'tikaf adalah menetap di masjid dalam waktu tertentu dengan niat beribadah.

Landasan Hukum

Syariat I'tikaf dinyatakan dalam Alquran, hadits, serta perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta para sahabat. 
Dalam surat Al Baqarah ayat 125 Allah Ta'ala berfirman,
 
"…Bersihkan rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud." (QS. Albaqarah: 125)

Aisyah radhiallahu anha berkata,

"Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian para isterinya melakukan i'tikaf sesudahnya" (HR. Muttafaq alaih).

Para ulama sepakat bahwa i'tikaf adalah perbuatan sunah baik bagi laki-laki maupun wanita. Kecuali jika seseorang bernazar untuk i'tikaf, maka dia wajib menunaikan nazarnya.

Lama I'tikaf dan Waktunya
 
Pendapat yang kuat menyatakan bahwa lama i'tikaf minimal sehari atau semalam, berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab radhiallahu anha, bahwa beliau menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa dirinya di masa jahiliah pernah bernazar untuk i'tikaf di Masjidilharam selama satu malam, maka Rasulullah saw bersabda, "Tunaikan nazarmu" (HR. Abu Daud dan Tirmizi).

Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa i'tikaf dapat dilakukan walau beberapa saat saja diam di dalam masjid. Namun, selain bahwa hal tersebut tidak ada landasan dalilnya, juga tidak sesuai dengan makna i'tikaf yang menunjukkan berdiam di suatu tempat dalam waktu yang lama. Bahkan Imam Nawawi yang mazhabnya (Syafii) berpendapat bahwa i'tikaf boleh dilakukan walau sesaat, tetap menganjurkan agar i'tikaf dilakukan tidak kurang dari sehari, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat bahwa mereka melakukan i'tikaf kurang dari sehari.

Kemudian, lama maksimum i'tikaf tidak ada batasan, dengan syarat seseorang tidak melalaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya atau melalaikan hak-hak orang lain yang menjadi kewajibannya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di tahun wafatnya pernah melakukan I'tikaf selama dua puluh hari (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Adapun waktu i'tikaf, berdasarkan jumhur ulama, sunah dilakukan kapan saja, baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan i'tikaf di bulan Syawal (HR. Muttafaq alaih). Beliau juga diriwayatkan pernah i'tikaf di awal, di pertengahan, dan akhir Ramadhan (HR. Muslim). Namun, waktu i'tikaf yang paling utama dan selalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lakukan hingga akhir hayatnya, adalah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

Masjid Tempat I'tikaf

Masjid yang disyaratkan sebagai tempat i'tikaf adalah masjid yang biasa dipakai untuk shalat berjamaah lima waktu. Lebih utama lagi jika masjid tersebut juga digunakan untuk shalat Jum'at. Lebih utama lagi jika dilakukan di tiga masjid utama: Masjidilharam, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.

Terdapat atsar dari Ali bin Thalib radhiallahu anha dan Ibnu Abbas radhiallahu anha yang menyatakan bahwa i'tikaf tidak sah, kecuali di masjid yang dilaksanakan di dalamnya shalat berjamaah (Mushannaf Abdurrazzaq, no. 8009). Selain itu, jika i'tikaf dilakukan di masjid yang tidak terdapat jamaah shalat fardhu, peserta i'tikaf akan dihadapkan dua perkara negatif: dia tidak dapat melakukan shalat berjamaah atau akan sering keluar tempat i'tikafnya untuk shalat berjamaah di masjid lain.

Masjid yang dimaksud sebagai tempat i'tikaf adalah tempat yang dikhususkan untuk shalat dan semua area yang bersambung dengan masjid serta dibatasi pagar masjid, termasuk halaman, ruang menyimpan barang, atau kantor di dalam masjid. Secara teknis, akan lebih baik jika masjidnya memiliki fasilitas yang dibutuhkan peserta i'tikaf, seperti tempat MCK yang memadai, ruangan yang luas untuk tempat tidur, dan tempat menyimpan barang bawaan.

Kapan Mulai I'tikaf pada Sepuluh Hari Terakhir Ramadan dan Kapan Berakhirnya?
  

Jumhur ulama berpendapat bahwa i'tikaf dimulai sejak sebelum matahari terbenam di malam ke-21 Ramadhan. Berdasarkan kenyataan, malam 21 adalah bagian dari sepuluh malam terakhir Ramadan, bahkan termasuk malam ganjil yang diharapkan turunnya Lailatul Qadar.  Ada juga yang berpendapat bahwa awal i'tikaf dimulai sejak shalat Fajar tanggal 21 Ramadhan. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika hendak i'tikaf, beliau shalat Fajar, setelah itu beliau masuk ke tempat i'tikafnya (HR. Muslim).

Adapun waktu berakhirnya, sebagian ulama berpendapat bahwa i'tikaf berakhir ketika dia akan keluar untuk melakukan shalat Id, namun tidak terlarang jika dia ingin keluar sebelum waktu itu. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa waktu i'tikaf berakhir sejak matahari terbenam di hari terakhir Ramadhan.
I'tikaf bagi Wanita
  
Wanita dibolehkan melakukan i'tikaf berdasarkan keumuman ayat. Juga berdasarkan hadits yang telah disebutkan bahwa isteri-isteri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan i'tikaf. Terdapat juga riwayat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengizinkan Aisyah dan Hafshah untuk melakukan i'tikaf (HR. Bukhari).

Namun, para ulama umumnya memberikan syarat bagi wanita yang hendak melakukan i'tikaf, yaitu mereka harus mendapatkan izin dari walinya atau suaminya bagi yang sudah menikah, tidak menimbulkan fitnah, ada tempat khusus bagi wanita di masjid, serta tidak sedang dalam haid dan nifas.

Keluar dari Masjid Saat I'tikaf

Secara umum, orang yang sedang i'tikaf tidak boleh keluar dari masjid. Kecuali jika ada kebutuhan pribadi mendesak yang membuatnya harus keluar dari masjid.

Aisyah radhillahu anha berkata,

"Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyorongkan kepalanya kepadaku sedangkan dia berada di dalam masjid, lalu aku menyisir kepalanya. Beliau tidak masuk rumah kecuali jika ada kebutuhan jika sedang I'tikaf" (HR. Muttafaq alaih)

Perkara-perkara yang dianggap kebutuhan mendesak sehingga seorang yang i'tikaf boleh keluar masjid  adalah: buang hajat, bersuci, makan, minum, shalat Jumat, dan perkara lainnya yang mendesak, jika semua hal itu tidak dapat dilakukan atau tidak tersedia sarananya di dalam area masjid.

Keluar dari masjid karena melakukan hal-hal tersebut tidak membatalkan I'tikaf. Dia dapat pulang ke rumahnya untuk melakukan hal-hal tersebut, lalu lekas kembali jika telah selesai dan kemudian meneruskan kembali i'tikafnya. Termasuk dalam hal ini adalah wanita yang mengalami haid atau nifas di tengah i'tikaf. Akan tetapi, jika seseorang keluar dari area masjid tanpa kebutuhan mendesak, seperti berjual beli, bekerja, dan berkunjung, maka i'tikafnya batal. Jika dia ingin kembali, maka niat i'tikaf lagi dari awal.

Bahkan, orang yang sedang i'tikaf disunahkan tidak keluar masjid untuk menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah, dan mencumbu isterinya, sebagaimana perkataan Aisyah radhiallahu anha dalam hal ini (HR. Abu Daud).

Pembatal I'tikaf
  
Berdasarkan ayat yang telah disebutkan, bahwa yang jelas-jelas dilarang saat I'tikaf adalah berjimak. Maka para ulama sepakat bahwa berjimak membatalkan i'tikaf. Adapun bercumbu, sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan, jika diiringi syahwat dan keluar mani. Apabila jika tidak diiringi syahwat dan tidak mengeluarkan mani, tidak membatalkan.

Termasuk yang dianggap membatalkan adalah keluar dari masjid tanpa keperluan pribadi yang mendesak. Begitu pula dianggap membatalkan, jika seseorang niat dengan azam kuat untuk keluar dari i'tikaf, walaupun dia masih berdiam di masjid.

Seseorang dibolehkan membatalkan i'tikafnya dan tidak ada konsekuensi apa-apa baginya. Namun, jika tidak ada alasan mendesak, hal tersebut dimakruhkan, karena ibadah yang sudah dimulai hendaknya diselesaikan, kecuali ada alasan yang kuat untuk menghentikannya.
 
Yang Dianjurkan, Dibolehkan, dan Dilarang

  
Peserta i'tikaf dianjurkan  untuk fokus dan konsentrasi dalam ibadah, khususnya shalat fardhu, serta memperbanyak ibadah sunah, seperti  tilawatul quran, berdoa, berzikir, muhasabah, talabul ilmi, dan membaca bacaan bermanfaat. Saat i'tikaf tetap dibolehkan berbicara atau mengobrol seperlunya, asalkan tidak menjadi bagian utama kegiatan i'tikaf, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dikunjungi Safhiah binti Huyay radhiallahu anha, isterinya, saat beliau i'tikaf dan berbicara dengannya beberapa saat. Dibolehkan pula membersihkan diri dan merapikan penampilan sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam disisirkan Aisyah ra, saat beliau i'tikaf.

Dilarang saat i'tikaf menyibukkan diri dalam urusan dunia, apalagi melakukan perbuatan yang haram seperti ghibah, namimah, atau memandang pandangan yang haram baik secara langsung atau melalui perangkat hp dan semacamnya. Hindari perkara-perkara yang berlebihan walau dibolehkan, seperti makan, minum, tidur, dan mengobrol.

Filosofi I'tikaf
 

I'tikaf, selain dikenal sebagai salah satu ibadah yang dianjurkan dalam Islam, merupakan ajaran yang direkomendasikan oleh syariat, bagi mereka yang ingin lebih berkonsentrasi untuk membersihkan dan membina jiwanya, agar hubungannya dengan Allah lebih kuat. Selain itu juga agar ketergantungannya terhadap dunia tidak mendominasi dirinya. Diharapkan dengan i'tikaf, akan lahir kesadaran dalam jiwa seorang muslim, bahwa kebersihan hati dan jiwa yang tidak didominasi tuntutan duniawi, merupakan syarat utama untuk mendapatkan keselamatan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

Jika pada ajaran lain terdapat ajaran meditasi, bertapa, atau semacamnya untuk membersihkan hati dan menimbulkan konsentrasi, maka hal seperti itu tidak dibenarkan dalam Islam karena tidak ada dalil yang mengajarkannya. Di dalam Islam, banyak praktik ibadah yang memiliki fungsi seperti itu, i'tikaf termasuk salah satunya. Ketika Rasulullah shallallahu alaih wa sallam pernah melakukan khulwah (menyendiri) di gua Hira, hal itu beliau lakukan sebelum menerima wahyu. Setelah diangkat menjadi seorang Nabi, maka beliau tidak lagi melakukan khulwah, dan tidak mengajarkan umatnya untuk melakukan seperti yang pernah beliau lakukan di gua Hira.

Dalam konteks zaman sekarang, i'tikaf merupakan jawaban aplikatif atas budaya masyarakat yang cenderung mengakhiri bulan Ramadan dengan meninggalkan masjid dan beralih ke pusat-pusat perbelanjaan. Melakukan i'tikaf pada zaman sekarang, dapat dikategorikan sebagai tindakan menghidupkan sunah yang telah banyak diabaikan masyarakat.

Wallahua'lam bishshaawab

Sumber :

-       Abdullah Haidir
-       Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab, Imam Nawawi rahimahullah
-       Al-Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah
-       Hiwar fil I'tikaf Ma'a Samahatissyekh Al-Allamah Abdullah bin Jibrin, rahimahullah
-       Fiqhul I'tikaf, Dr. Khalid bin Ali Al-Musyaiqih

Minggu, 22 Juli 2012

WASPADAI PENGGUNAAN KUAS & SIKAT BULU BABI (PIG HAIR BRUSH) DI SEKITAR ANDA



WASPADAI PENGGUNAAN KUAS & SIKAT BULU BABI (PIG HAIR BRUSH) DI SEKITAR ANDA
by: AND (22 Juli 2012)


Dalam kehidupan sehari-hari, kita menggunakan aneka macam kuas untuk merias wajah, melukis, membersihkan debu, mengecat rumah, mengoles loyang kue, hingga mengoles makanan. Seperti ayam bakar, roti, kue, dan aneka daging serta seafood yang dipanggang atau dibakar. Sementara sikat berguna saat menyisir rambut, membersihkan rambut di salon atau pangkas rambut, mencuci baju, dan menggosok lantai

Tahukah Anda, berasal dari apakah kuas & sikat yang Anda pakai itu? Kemungkinan besar adalah DARI BULU BABI!   

Kuas yang disuplai di Indonesia, umumnya berasal dari China. Kuas impor tersebut diproduksi menggunakan bulu babi, terutama babi hutan yang berbulu lebih banyak. Bulu babi dianggap lebih ekonomis dibanding bulu binatang lain, seperti kambing, tupai, musang, kuda, rakun, unta, dan anjing.



Bagi umat muslim, penggunaan bulu babi jelas HARAM. Sekecil apapun, material dari babi terlarang untuk dikonsumsi dan untuk aplikasi. 



Ilustrasi di atas adalah contoh kuas (& sikat) bulu babi (istilahnya PIG/BOAR/HOG/BRISTLE HAIR BRUSH) yang dijual berbagai TEMPAT, SEPERTI PASAR, TOKO ALAT LUKIS, TOKO BAHAN BANGUNAN, TOKO ALAT MAKE UP & SALON, TOKO ONLINE, DLL. APAKAH ANDA FAMILIAR DENGAN BERAGAM BENTUK DI BAWAH INI? ADA KUAS LUKIS, KUAS CAT TEMBOK, KUAS MAKE UP, SIKAT RAMBUT, SIKAT BARBER/TUKANG CUKUR, SIKAT BAJU, DLL. WASPADALAH! 



TIPS MENGHINDARI PENGGUNAAN KUAS DAN SIKAT BULU BABI :
1. GUNAKAN KUAS & SIKAT YANG 100% SINTETIS, SEPERTI BAHAN NILON. Tersedia kuas cat tembok dan kuas oles makanan, dengan harga yang sedikit lebih mahal. Bahan nilon teksturnya seperti bahan plastik untuk sikat gigi.
2. GUNAKAN ALTERNATIF LAIN SELAIN KUAS. Contohnya roller paint untuk mengecat, spon & cotton buds untuk merias wajah, serta pisau & spatula untuk mengoles makanan.
3. WASPADAI MAKANAN YANG PROSES PEMASAKAN DAN PEMBERSIHAN ALAT-ALATNYA MENGGUNAKAN KUAS BABI.
4. CIRI KUAS BULU BABI, BILA DIBAKAR AKAN MENIMBULKAN BAU YANG KHAS SEPERTI DAGING DIPANGGANG.
5. BIASANYA KUAS BULU BABI DIJUAL BERWARNA PUTIH & HITAM. Namun, produsen bisa saja memproses bulu babi dengan cara diputihkan lalu diberi pewarna, sehingga seolah-olah seperti bulu binatang lain. (AND)


Referensi: Fakta di lapangan & beberapa literatur di internet.

SAMPAIKAN INFO INI SEBAGAI BENTUK DAKWAH ANDA. 

Jumat, 20 Juli 2012

PUASA & BERDOA



Tausiyah Online #2 – 16 Juli 2012

PUASA DAN BERDOA 
by: Amalia Diena Listyanti

(photo: quranreading.com)


Beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan. Di bulan tersebut, umat Islam berkewajiban untuk menjalankan ibadah puasa sesuai QS Al Baqarah ayat 183, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Perintah berpuasa tersebut turun pada tahun kedua Hijriah pada saat menjelang bulan Ramadhan, kira-kira 18 bulan setelah Rasulullah saw menetap di Madinah. Sejak diturunkannya wahyu tersebut, Rasulullah saw beserta para sahabatnya mulai melaksanakan puasa Ramadhan.

Sementara itu, pengertian puasa secara etimologi adalah mencegah, sedangkan secara terminologi puasa ialah beribadah kepada Allah swt dengan menahan diri dari segala yang membatalkan seperti makan, minum, dan jima’, mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

Jika kita membandingkan dengan negara-negara non-tropis, waktu berpuasa mereka bisa sangat panjang khususnya di musim panas, di mana siang lebih panjang dibanding malam. Sementara kita yang tinggal di Indonesia, waktu puasa tidak pernah lebih dari sekitar 13-14 jam tiap harinya. Apalagi kita juga tinggal di wilayah yang mayoritas penduduknya muslim, idealnya kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan lebih mudah.

Bagaimanapun juga, mudah atau sulitnya ibadah tersebut, puasa harus kita jalankan selama sebulan penuh, kecuali bagi orang sakit, musafir, wanita haid atau nifas, serta orang yang tidak mampu berpuasa (lansia), wanita hamil dan menyusui, serta orang yang dipaksa (demi keselamatannya). Bagi yang tidak berpuasa tersebut harus mengqadha puasanya, membayar fidyah, atau keduanya.

Kemudian, berdasarkan Al-Quran dan hadis, Allah swt memberikan banyak pahala dan keistimewaan bagi hamba-hamba-Nya yang berpuasa, apalagi di bulan Ramadhan. Berbagai hal baik dianjurkan karena pahala dilipatgandakan. Salah satu anjuran adalah banyak berdzikir dan berdoa.

Salah satu terjemahan hadis berbunyi, “Tiga golongan yang tidak akan ditolak doa mereka: orang yang berpuasa hingga ia berbuka, pemimpin yang adil, dan orang yang teraniaya” (HR. Tirmidzi).

Selain itu, Allah swt juga telah memerintahkan manusia untuk senantiasa berdoa sesuai QS Al Mu’min ayat 60, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”.

Selanjutnya, berikut adalah adab berdoa dan sebab-sebab doa dikabulkan menurut Sa’id bin ‘Ali bin Wahaf Alqahthani:

ADAB BERDOA DAN SEBAB DOA DIKABULKAN
1.    Ikhlas mengharap ridha Allah swt.
2.    Diawali dan diakhiri dengan pujian kepada Allah swt dan shalawat kepada Rasulullah saw.
3.    Sungguh-sungguh dan yakin akan dikabulkan.
4.    Tegas dan tidak tergesa-gesa.
5.    Menghadirkan hati (khusyu) dan pasrah.
6.    Berdoa pada waktu lapang dan sempit (berdoa pada tiap situasi).
7.    Berdoa hanya pada Allah swt.
8.    Tidak untuk kerusakan keluarga, harta, keturunan, dan diri sendiri.
9.    Mengendalikan suara.
10.  Pengakuan atas dosa dan memohon ampunan-Nya serta pengakuan atas anugerah-Nya dan tekad untuk mensyukurinya.
11.  Tidak terkesan memaksakan (mengancan jika tidak dikabulkan).
12.  Merendahkan diri, penuh harap, dan rasa takut.
13.  Menolak kezhaliman beserta taubat.
14.  Diulang tiga kali.
15.  Menghadap kiblat.
16.  Mengangkat tangan (di luar shalat).
17.  Dalam keadaan berwudhu (jika memungkinkan).
18.  Dengan penuh kesadaran dan kemantapan.
19.  Diawali untuk diri sendiri jika akan berdoa untuk orang lain.
20.  Tawassul (menggunakan perantara) dengan asmaul husna dan sifat-sifat Allah yang agung, atau dengan amal saleh yang dilakukan sendiri oleh yang berdoa, atau dengan bantuan doa orang saleh yang masih hidup.
21.  Makanan, minuman, pakaian, dan harta lainnya diperoleh dengan cara yang halal.
22.  Tidak berdoa dengan dan/atau untuk dosa atau memutuskan silaturahmi.
23.  Melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
24.  Menjauhi dosa dan maksiat.

Jadi, dengan niat dan tujuan yang baik serta adab yang sesuai, insya Allah doa kita khususnya di saat kita berpuasa di bulan Ramadhan akan dikabulkan oleh Allah swt. Wallahu a’lam bish shawab.

Semoga kita semua diberi kesehatan sehingga dapat menjalankan ibadah puasa Ramadhan dan berbagai ibadah lainnya dengan baik. Amiin. 

Referensi:
Al-Maghluts S. 2009. Atlas Agama Islam. Jakarta: Almahira.
Andayani F. 2012. Puasa Sejak Adam Hingga Muhammad. Harian Republika, 15 Juli, hlm 6.
Baqi MFA. 2006. Al-Lu’lu’ Wal Marjan. Surabaya: Bina Ilmu.
Faridl M. 2009. Do’a. Bandung: Pustaka.